Jenis Deiksis
Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis
tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987:
40).
a. Deiksis Persona
Istilah persona berasal dari kata
Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya
topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga
peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona
dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan
antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via
Djajasudarma, 1993: 44).
Deiksis orang ditentukan menurut peran
peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi
tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara
kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya,
kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan
pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang
pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga,
yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar
ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.
Kata
ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini
berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo,
1984: 106). Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan
bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan.
Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka
kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat
tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk pronomina persona
pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut,
baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk
persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal.
Berbeda dengan
kata ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik
tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti
bentuk sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh
karena bersifat endofora, maka dapat berwujud anafora dan katafora
(Setiawan, 1997: 9).
Deiksis persona merupakan deiksis asli,
sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran.
Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis
persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta
waktu.
b. Deiksis Tempat
Deiksis tempat ialah pemberian
bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa
-termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat kepada
pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk
yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai
contoh penggunaan deiksis tempat.
(8) a. Duduklah kamu di sini.
b. Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa
di sini pada kalimat (8a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni
sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (8b), acuannya lebih luas, yakni
suatu toko atau tempat penjualan yang lain.
c. Deiksis Waktu
Deiksis
waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang
dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis
(rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense)
(Nababan, 1987: 41). Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa
Inggris.
(9) a. I bought a book.
b. I am buying a book.
Meskipun
tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (9a) dan (9b), penggunaan deiksis
waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang
lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa keterangan waktu;
umpamanya, yesterday, last year, now, dan sebagainya. Contoh dalam
bahasa Inggris:
(10) a. I bought the book yesterday.
b. I bought the book 2 years ago.
d. Deiksis Wacana
Deiksis
wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang
telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis
wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali
kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan
pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang
disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis
wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut,
yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh.
(11) a. Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya.
b. Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli.
Dari
kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (11a)
mengacu ke paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh
(11b) mengacu ke mangga yang disebut kemudian.
e. Deiksis Sosial
Deiksis
sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan
kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar.
Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa
bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang
diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata
tertentu (Nababan, 1987: 42). Dalam bahasa Jawa umpamanya, memakai kata
nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan
sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang
dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (atau
variasi bahasa) seperti itu disebut “tingkatan bahasa”, dalam bahasa
Jawa, ngoko dan kromo dalam sistem pembagian dua, atau ngoko, madyo dan
kromo kalau sistem bahasa itu dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo dan
kromo inggil kalau sistemnya dibagi empat. Aspek berbahasa seperti ini
disebut “kesopanan berbahasa”, “unda-usuk”, atau ”etiket berbahasa”
(Geertz, 1960 via Nababan, 1987: 42-43).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar