Kamis, 07 Juni 2012

tabel rpp

RPP Mengintifikasi Unsur- Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Suatu Cerita yang Disampaikan Secara Langsung 
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) 

SEKOLAH : SMA Kartika Kendari 
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia 
KELAS : X 
SEMESTER : 1
 ALOKASI WAKTU : 2 x 45 Menit

A. STANDAR KOMPETENSI
 Mendengarkan: 1. Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung/tidak langsung.

B. KOMPETENSI DASAR 
Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan secara langsung/rekaman. 

C.INDIKATOR 
1. Kognitif 
    a. Proses 
       - Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang ada di dalam cerpen
    b. Produk 
      - Menentukan unsur intrinsik yang ada di dalam cerpen 
      - Menjelaskan maksud unsur intrinsik cerpen 
2. Psikomotor 
    -Menyampaikan unsur-unsur intrinsik yang telah ditemukan di dalam cerpen 
    - Menanggapi penjelasan tentang unsur-unsur yang ditemukan oleh teman.
3.  Afektif 
   a. Karakter
      - Kerja sama 
      - Teliti 
      - Tanggap
   b. Keterampilan sosial
      - Menyampaikan hasil diskusi dengan baik dan benar 
      - Membantu teman yang mengalami kesulitan. 
D.TUJUAN PEMBELAJARAN 
1. Kognitif
   a. Proses 
      -Setelah membaca cerpen yang disajikan, siswa diharapkan mampu menemukan unsur-unsur intrinsik yang terdapat di dalam cerpen 
   b. Produk Setelah membaca dan membahas hasil pencapaian tujuan proses di atas, siswa diharapkan mampu menuliskan kembali unsur-unsur intrinsik yang telah ditemukan. 
2. Psikomotor
        Secara berkelompok siswa dapat menyampaikan unsur intrinsik cerpen yang disediakan dalam LKS 1: psikomotor.
3. Afektif 
    a.  Karakter
        -Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperhatikan kemajuan dalam perilaku seperti kerja sama, teliti dan tanggap.
    b. Keterampilan sosial 
       -Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan dalam kerampilan menyampaikan hasil diskusi dengan bahasa yang baik dan benar, bekerja sama dalam kelompoknya, dan membantu teman yang mengalami kesulitan. 

E. MATERI PEMBELAJARAN 
    -Teks cerita pendek 

F. MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN 
    1.Model pembelajaran : pembelajaran langsung (eksplisit) 
    2. Metode pembelajaran Diskusi Unjuk kerja Penugasan 

G. BAHAN
    -Cerita Pendek

H. ALAT
    - Lembar kerja 
    -Spidol

I.  SKENARIO PEMBELAJARAN
NoKegiatan
A1Kegiatan awal (10 menit)
1.  Guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan menanyakan keadaan siswa yang tidak hadir.
 2. Guru memberi motivasi kepada siswa.
 3.  Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang harus dicapai.
 4. Guru melakukan apersepsi dengan bertanya mengenai pengetahuan siswa tentang unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra
B1Kegiatan inti (25 menit)
 1. Siswa membentuk kelompok antara 4-5 orang per kelompok.
 2.  Guru memberi penjelasan tentang kinerja yang akan dilakukan siswa pada saat menyimak cerita yang akan disampaikan.
 3. Siswa mendengarkan/menyimak cerita pendek yang sudah disediakan oleh guru, yang akan dibacakan oleh teman secara bergantian.
 4.  Secara berkelompok siswa berdiskusi mengenai unsur intrinsik di dalam cerpen kemudian mengidentifikasi dan menuliskan unsur intrinsik yang terdapat di dalam cerpen.
 5.  Setiap kelompok menunjuk salah satu anggotanya untuk menyampaikan secara lisan hasil diskusi secara runtut dan jelas di depan kelas.
 6. Siswa bertanya jawab/menanggapi informasi yang didengar/disimak dengan bahasa dan alasan yang rasional dan logis. 
C1Kegiatan akhir (10 menit)
 1. Guru dan siswa melakukan refleksi tentang pembelajaran hari ini.
 2. Guru dan siswa menyimpulkan pembelajaran hari ini.
 3. Guru memberi tugas kepada siswa kemudian pembelajaran ditutup dengan salam.

J. SUMBER PEMBELAJARAN
   -Buku: Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA kelas X Materi esensial Bahasa Indonesia Silabus.

K.EVALUASI DAN PENILAIAN
    - Tugas Individu: Menggunakan LKS
    - Jenis Tagihan Penilaian: LKS 1 dan LP 1 
    - Bentuk Instrumen Penilaian: Uraian Bebas Jawaban Singkat

L.  LEMBAR KERJA SISWA (LKS)
     BAHASA INDONESIA SMA KELAS X SEMESTER 1     
  -Standar Kompetensi Mendengarkan: 1. Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung/tidak langsung. 
 Oleh: 
      Media Pembelajaran: Cerpen Aku bagaikan manusia yang terhina. Rasanya kehadiranku tak pernah diharapkan siapapun, bahkan oleh kedua orang tuaku. Aku lahir dari sebuah keluarga yang hidupnya sangat memprihatinkan. Teramat sangat, karena kedua orang tuaku hidup dengan tidak layak ditambah lagi dengan pendidikan rendah dan sikap yang kolot. Hidup dengan kekurangan disana-sini menjadikan ibu dan bapak sebagai orang tua yang haus akan materi. Namun parahnya tiada upaya, hanya impian meninggi namun sangat tipis usaha untuk menggapainya. Jangan tanyakan di mana keluarga kami yang lain. Karena keadaannya sama saja. Entah mengapa aku lahir di tengah-tengah kelurga bobrok ini, bahkan aku menyebutnya keluarga terkutuk.
     Pada dasarnya orangtuaku mengharapkan anak mereka yang lahir adalah lelaki, karena mereka berharap kami akan membantu perekonomian keluarga. Namun, anak pertama terlahir sebagai perempuan, berlanjut terus tanpa henti hingga aku terlahir sebagai perempuan di urutan ke delapan. Hah…tidak usah heran, karena mereka pun tak pernah lelah mengharapkan impian bodoh mereka itu. Kedengarannya kasar sekali aku mengecam orang tua dan keluargaku sendiri. Namun, itulah kerasnya kehidupan, kadang kita akan terseret ke dalam arus disekelilingnya. Aku muak!! Aku tak ingin terus-terusan hidup luntang – lantung dalam kehidupan menyebalkan seperti ini. Apalagi setelah kelahiranku beberapa tahu lalu bapak pergi entah ke mana. Ia mungkin tak sanggup lagi memikul tanggung jawab untuk menafkahi sembilan orang perempuan yang hanya menyusahkan kehidupannya. Aku tahu di luar sana ia pasti berteriak lega. Hingga sudah bisa ditebak aku tak pernah tahu bagaimana rupa bapakku itu. 
     Malam ini ku pilih sebagai malam yang tepat untuk mengakhiri bebanku selama ini. Apakah aku akan bunuh diri? Owh, tidak!! Aku tidak sebodoh itu. Aku hanya ingin memulai kehidupan baruku. Yaa, sama seperti bapak yang lari meninggalkan kami. Toh aku juga tidak akan dicari oleh mereka. Malah sangat pasti mereka akan senang, karena tanggungan mereka berkurang satu lagi. Hari-hariku berjalan dan berlanjut apa adanya. Awalnya sulit karena aku harus hidup sendiri tanpa ada yang perduli dengan diriku. Terkadang aku berpikir untuk mencari bapak. Ibu pernah bercerita, bahwa bapak mempunyai tanda yang bisa aku kenali. Yaitu ia mempunya tanda lahir berbentuk bulan sabit berwarna hitam legam di punggung sebelah kanan. 
    Tanda yang langka, sehingga mudah untuk dikenali. Namun, apakah mungkin aku memeriksa punggung setiap laki-laki? Hah, mustahil. Sudahlah aku pun melenyapkan keinginan gila itu. Lagipula jika aku bertemu dengannya, aku mau apa darinya? Aku sudah teramat benci terhadapnya. Lelaki tak bertanggung jawab.!! Mungkin itulah awal dari kebencian ku yang teramat sangat terhadap lelaki. Apalagi aku terbiasa hidup di lingkungan perempuan yang mandiri tanpa lelaki. Ibu pun seolah mengajarkan untuk benci terhadap lelaki. Akhirnya ini juga yang membawaku ke dalam lembah kesalahan. Semua orang tahu bahwa hidup di jalan bukanlah hal mudah. Sangat banyak godaan yang menyesatkan. Dan aku pun tak bisa menghindarinya. Dan yang membuat aku bertahan dengan semua itu karena aku menikmatinya. Aku tak punya keahlian apa-apa. Yakh, terpaksa untuk membiayai hidup aku pun bekerja menjual diri. Mungkin bagi orang, perjalanan ini sudah biasa. Sudah tak sedih lagi. Sudah bassiiii….!!! Tapi itu tanggapan orang yang hanya mendengarnya, tapi bagiku yang merasakannya, ini sangat sakit. Saakiiit…. dan pedih…! Namun hal itu tak membuatku sedikit bersimpati terhadap pria. Jangan pikir aku akan menyerahkan tubuh ini pada pria-pria di luar sana yang nakal. Hah,,,tidak!! Tidak akan pernah.!! Lalu,, pada siapa?? Yakh, tentu saja terhadap sesama jenisku: perempuan. Hufft….aku merapikan pakaianku dan bergegas meninggalkan hotel. Siang itu aku baru saja “melayani” pelanggan setiaku. Pelangganku memang terbilang sedikit, karena memang susah untuk mencari yang seperti kami. Mungkin banyak, tetapi banyak yang tidak mau mengakui bahwa mereka adalah kaum lesbi. Namun, biarlah dengan begitu sainganku tidak terlalu banyak, dan tentu saja bayaranku akan tinggi. Seiring bertambahnya usia, pelangganku semakin berkurang.
    Apalagi usia yang semakin menua membuat parasku tak secantik dulu. Tenagaku pun tak sehebat dulu lagi. Sehingga banyak pelangganku yang kabur. Aku pun mulai berpikir untuk mencoba “menjualnya” kepada lelaki. Aku yakin pelanggan lelaki lebih banyak dan lebih mudah didapat. Lagipula tubuhku pun masih belum terlalu jelek bagi para lelaki. Awalnya aku berat, sangat berat. Aku tak pernah membayangkan akan melakukannya dengan lelaki. Karena terus terang rasa benci yang tertanam sejak kecil, belum bisa aku lenyapkan. Tapi kehidupan yang menuntunku.  Malam ini, aku pun mendapatkan pelanggan pria pertama ku. 
     Aku sama sekali tak merasakan apapun terhadap pria ini. Seorang pria paruh baya, yang dalam pikiranku sungguh tidak tahu diri. Seharusnya ia insaf, karena melihat tampangnya ia tak akan berumur panjang lagi. Tapi,,, sudahlah. Yang terpenting aku mendapatkan uang. Kami pun memulainya. Aku sungguh baru pertama melakukan ini dengan pria, setelah puluhan tahun aku bergelut dalam dunia hitam ini dan melakukannya dengan wanita. Aku merasakan hal aneh. Entah, apa namanya. Aku merasakan kesedihan yang mendalam. Ketika ia mulai menjelajahi tubuhku, hingga melucuti satu-persatu pakaian yang melekat ditubuhku. Namun, ditengah “permainan hot” kami itu, aku tersentak kaget. Aku kemudian segera memakai pakaianku. Aku tak peduli ketika pria itu terus memanggilku. Aku menghempaskan tubuhnya yang masih berusaha untuk memaksa aku kembali melanjutkan hubungan tadi. “ Kita belum selesai nona!! Jadi kamu tidak akan bisa lari dariku”. Huh…aku tidak peduli. Aku menhempaskan tubuhnya. Kutatap lekat-lekat wajahnya. Wajah itu seperti tak asing bagiku. Bahkan aku segera merasakan perasaan benci yang memuncak terhadap semua lelaki. Aku berlari terus berlari. Tiba-tiba saja rasa penasaran tentang sosok selama ini yang aku cari-cari hilang sudah. Karena baru saja aku melihat sebuah tanda bulan sabit berwarna hitam legam di punggung sebelah kanan. SELESAI 
LKS 1: LEMBAR KERJA SISWA 
Bahasa Indonesia
 Nama……………………. Kelompok……………… Tanggal………………. 
Kegiatan 1 
    Bacalah cerita pendek yang telah disediakan. Setelah membaca, kerjakan langkah-langkah berikut: 
 Tentukanlah unsur-unsur intrinsik yang terdapat di dalam cerpen tersebut! ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. 
 LKS 2: LEMBAR KERJA SISWA Bahasa Indonesia 
Nama……………………. Kelompok……………… Tanggal………………. 
Kegiatan 2 
    Carilah sebuah Cerpen. Lalu bacalah. Setelah membaca, kerjakan langkah-langkah berikut: 
Tentukanlah unsur-unsur intrinsik yang terdapat di dalam cerpen tersebut! ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. ………………………………………………………………………………. 
LEMBAR PEGANGAN GURU (LPG)
 BAHASA INDONESIA
 SMA KELAS X 
SEMESTER 1 
 Standar Kompetensi Mendengarkan: 1. Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung/tidak langsung. Oleh: Unsur Intrinsik Karya Sastra adalah unsur-unsur yang secara organik membangun sebuah karya sastra dari dalam
 Contoh
 unsur intrinsik
 (1) tokoh 
(2) alur
 (3) latar,
 (4) judul 
(5) sudut pandang
 (6) gaya dan nada 

 Secara umum unsur-unsur intrinsik karya sastra prosa adalah: 
1. Tokoh /karakter
 2. Alur / plot
 3. latar/ setting
 4. sudut pandang (point of view)
 5. tema
 6. amanat 

     Karakter adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian peristiwa-peristiwa yang digambarkan di dalam plot. 
      Plot adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungan dengan hukum sebab-akibat.  Latar adalah latar peristiwa yang menyangkut tempat, ruang, dan waktu. 
    Tema adalah gagasan pokok yang terkandung dalam drama yang  berhubungan dengan arti (mearning atau dulce) drama itu; bersifat lugas, objektif, dan khusus. 
    Amanat adalah pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca yang berhubungan dengan makna (significance atau utile) drama itu; bersifat kias, subjektif, dan umum. 

PEMBEDAAN TOKOH
 A. Dilihat dari segi peranan/ tingkat pentingnya/ keterlibatan dalam cerita 
1. tokoh utama (main/ central character) yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya 
2. tokoh tambahan (peripheral character) yaitu penceritaan relatif pendek (tidak mendominasi) 
 B. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh
 1. Protagonis memberikan simpati, empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian disebut tokoh protagonis.
 2. Antagonis - tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik - beroposisi dengan tokoh protagonis - Peran antagonis dibedakan menjadi dua, yaitu: 
1. tokoh antagonis 
2. kekuatan antagonis (tak disebabkan oleh seorang tokoh) 
 Contoh:
 bencana alam, kecelakaan, nilai-nilai sosial, lingkungan alam, nilai moral, kekuasaan dan 
kekuatan yang lebih tinggi, dan sebagainya. 
 C. Berdasarkan Perwatakannya 
1. Tokoh Sederhana/ Simple/ Flat Tokoh yang hanya mempunyai satu kualitas pribadi (datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu). Biasanya dapat dirumuskan dengan satu kalimat 
2. Tokoh Bulat/ Complex/ Round Diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupan, kepribadian, dan jati dirinya. Bertentangan, sulit diduga, dan mempunyai unsur surprise. Keduanya tidak bersifat bertentangan, hanya merupakan gradasi saja. 
 D. Berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh 
• Tokoh Statis adalah tokoh tak berkembang yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi. 
• Tokoh Berkembang 
• mengalami perkembangan perwatakan dalam penokohan yang bersifat statis biasanya dikenal tokoh hitam dan tokoh putih 
 E. Berdasarkan Kemungkinan Pencerminan Tokoh terhadap Manusia dari Kehidupan Nyata
 • Tokoh Tipikal pada hakekatnya dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata. 
Contoh
 guru, pejuang, dan lain-lain.
 • Tokoh Netral tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner 

 LEMBAR PENILAIAN (LP) BAHASA INDONESIA
 SMA KELAS X 
SEMESTER 1
 Standar Kompetensi Mendengarkan: 1. Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung/tidak langsung. 

 LP 1 : KOGNITIF PROSES
 Pedoman Penskoran LKS 1 No Komponen Deskriptor Skor 1 2 3 1 Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang ada di dalam cerpen Siswa mampu Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang ada di dalam cerpen
 Keterangan: 
 (1) sangat tepat 
 (2) tepat 
 (3) tidak tepat 
     
          Cara Pemberian Nilai Rumus: Nilai=(Skor Perolehan Siswa)/(Skor Maksimun) x 100


 LP 2 : KOGNITIF PRODUK
No
Komponen

Deskriptor
skor
1
Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang ada di dalam cerpen

Siswa mampu Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang ada di dalam cerpen
 1
2
3

Keterangan:
 (1) sangat tepat 
 (2) tepat 
 (3) tidak tepat
        Cara Pemberian Nilai Rumus: (Skor Perolehan Siswa)/(Skor Maksimun) x 100

 LP 3 : PSIKOMOTOR
    Pedoman Penskoran LKS 2 No Komponen Deskriptor Skor Catatan 1 Mampu membacakan hasil identifikasi unsur intrinsik yang terdapat di dalam cerpen, dengan kriteria: Suara Lafal Intonasi Sangat jelas Kurang jelas Tidak jelas Sangat jelas Kurang jelas Tidak jelas Sangat jelas Kurang jelas Tidak jelas 3 2 1 3 2 1 3 2 1 2 Menanggapi hasil identifikasi yang disampaikan teman Siswa mampu menanggapi hasil identifikasi unsur intrinsic cerpen yang disampaikan teman 1 2 3

 Keterangan:
 (1) sangat tepat
 (2) tepat
 (3) tidak tepat 
  
 Cara Pemberian Nilai Rumus: (Skor Perolehan Siswa)/(Skor Maksimun) x 100


NoTanggung JawabDisiplinKetekunanKreatifKritis
1
1 2 3 4
1 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
21 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
31 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
51 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
61 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
71 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
81 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
91 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
101 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
111 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
121 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
131 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
141 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
151 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
161 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
171 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
181 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
191 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
201 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
211 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
221 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
231 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
241 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
251 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
261 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
271 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
281 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
291 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
301 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
311 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
321 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
331 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
341 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
351 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
361 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
371 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
381 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
391 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4
401 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 41 2 3 4

Keterangan
 4 = sangat baik
 2 = kurang baik 
 3 = baik 
 1 = tidak baik


NoInisiatifBerbahasa Santun dan KomunikatifPartisipasi
1
1 2 3 4
1 2 3 4 1 2 3 4
21 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
31 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
41 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
51 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
61 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
71 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
81 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
91 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
101 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
111 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
121 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
131 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
141 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
151 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
161 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
171 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
181 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
191 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
201 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
211 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
221 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
231 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
241 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
251 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Keterangan 
 4 = sangat baik 
 2 = kurang baik 
 3 = baik 
 1 = tidak baik

ciri-ciri paragraf:

ciri-ciri paragraf:
  1. Kalimat pertama bertakuk (block style) ke dalam lima ketukan spasi untuk jenis karangan biasa, misalnya surat, dan delapan ketukan untuk jenis karangan ilmiah formal, misalnya: makalah, skripsi, desertasi, dll. Karangan berbentuk lurus dan tidak bertakuk  ditandai dengan jarak spasi merenggang, satu spasi lebih banyak daripada antar baris lainnya
  2. Paragraf menggunakan pikiran utama (gagasan utama) yang dinyatakan dalam kalimat topik
  3. Setiap paragraf menggunakan sebuah kalimat topik dan selebihnya merupakan kalimat pengembang yang berfungsi menjelaskan, menguraikan, atau menerangkan pikiran utama yang ada dalam kalimat topik
  4. Paragraf menggunakan pikiran penjelas (gagasan penjelas) yang dinyatakan dalam kalimat penjelas. Kalimat ini berisi detail - detail kalimat topik. Paragraf bukan kumpulan kalimat - kalimat topik. Paragraf hanya besiri satu kalimat topik dan beberapa kalimat penjelas. Setiap kalimat penjelas berisi detail yang sangat spesifik, dan tidak mengulang pikiran penjelas lainnya.

pengertian paragraf

Paragraf merupakan kumpulan kalimat yang berisi satu gagasan. Paragraf merupakan jalan yang ditempuh penulis untuk menyampaikan buah pikirannya. Tidak semua kumpulan bisa dikategorikan sebagai paragraf. Oleh karena itu, perlu bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri paragraf supaya kita bisa membedakan kumpulan kalimat yang berupa paragraf dan buka.

Jenis Deiksis

Jenis Deiksis
Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40).

a. Deiksis Persona
Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via Djajasudarma, 1993: 44).
Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.
Kata ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106). Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal.
Berbeda dengan kata ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora, maka dapat berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9).
Deiksis persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu.

b. Deiksis Tempat
Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan deiksis tempat.
(8) a. Duduklah kamu di sini.
b. Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa di sini pada kalimat (8a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (8b), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41). Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa Inggris.
(9) a. I bought a book.
b. I am buying a book.
Meskipun tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (9a) dan (9b), penggunaan deiksis waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa keterangan waktu; umpamanya, yesterday, last year, now, dan sebagainya. Contoh dalam bahasa Inggris:
(10) a. I bought the book yesterday.
b. I bought the book 2 years ago.

d. Deiksis Wacana
Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh.
(11) a. Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya.
b. Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli.

Dari kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (11a) mengacu ke paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (11b) mengacu ke mangga yang disebut kemudian.

e. Deiksis Sosial
Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42). Dalam bahasa Jawa umpamanya, memakai kata nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (atau variasi bahasa) seperti itu disebut “tingkatan bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan kromo dalam sistem pembagian dua, atau ngoko, madyo dan kromo kalau sistem bahasa itu dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo dan kromo inggil kalau sistemnya dibagi empat. Aspek berbahasa seperti ini disebut “kesopanan berbahasa”, “unda-usuk”, atau ”etiket berbahasa” (Geertz, 1960 via Nababan, 1987: 42-43).

Pengertian Pragmatik

Pengertian Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2).
Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177). Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai berikut:
(1) “Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa”. Di sini, “pengertian/pemahaman bahasa” menghunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya.
(2) “Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahsa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”.
(Nababan, 1987: 2)

Pragmatik juga diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.
Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990: 31).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan tentang batasan pragmatik. Pragmatik adalah suatu telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran.

Fenomena Pragmatik
Kancah yang dijelajahi pragmatik ada empat: (a) deiksis, (b) praanggapan (presupposition), (c) tindak ujaran (speech acts), dan (d) implikatur percakapan (conversational implicature) (Purwo, 1990: 17).
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen yang berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Deiksis dapat juga diartikan sebagai suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan (Cahyono, 1995: 217).
Praanggapan (presupposition) adalah apa yang diasumsikan oleh penutur sebagai hal yang benar atau hal yang diketahui pendengar (Cahyono, 1995: 219). Menurut Nababan (1987: 46), praanggapan adalah dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar/penerima bahasa itu, dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat, dsb) yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Nababan memberikan contoh penggunaan presuposisi sebagai berikut:
(1) Wanita Indonesia membeli burung.
terdapat praanggapan bahwa:
(3.1) Ada seorang wanita Indonesia, dan
(3.2) Ada burung.
Jika kedua praanggapan itu diterima, maka kalimat (3) mempunyai makna atau dapat dimengerti pendengar/pembaca.
Tindak ujaran (speech acts) ialah pengucapan suatu kalimat di mana si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu, tetapi ia juga menindakkan sesuatu (Purwo, 1990: 19). Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (1969: 23-24) dalam Wijana (1996: 17-22), mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni:
1. Tindak lokusi, yaitu tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Sebagai contoh:
(4) Jari tangan jumlahnya lima.
Kalimat (4) di atas, diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
2. Tindak ilokusi, yaitu sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Contoh:
(5) Saya tidak dapat datang.
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa, bila kalimat itu diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf.
3. Tindak perlokusi, yaitu sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Sebagai contoh:
(6) Kunjungilah restoran Oshin!
Tersedia bermacam-macam masakan Jepang, Cina, dan Eropa.
Tempat ideal untuk bersantai bersama keluarga, handai taulan, dan rekan sekerja Anda. Dijamin halal.

Dalam wacana di atas, ditemukan penggunaan tindak perlokusi. Ini dapat diketahui karena penutur -pengelola restoran- selain mengatakan mengelola masakan ala Jepang, Cina dan Eropa juga meyakinkan pendengar/pembaca bahwa masakannya benar-benar halal.
Implikatur percakapan (conversational implicature) merupakan konsep yang cukup penting dalam pragmatik karena empat hal (Levinson, 1983: 97). Pertama, konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. Kedua, konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang dikatakan secara lahiriah. Ketiga, konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik. Keempat, konsep implikatur dapat menjelaskan beberapa fakta bahasa secara tepat. Sebagai contoh:
(7) A : Jam berapa sekarang?
B : Korannya sudah datang.

Tampaknya kalimat (7A) dan (7B) tidak berkaitan secara konvensional. Namun pembicara kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara pertama, sebab dia sudah mengetahui jam berapa koran biasa diantarkan.
Dari keempat bidang kajian pragmatik tersebut pada akhirnya dapat digunakan untuk memahami makna sesuai dengan konteks yang terjadi. dalam penelitian ini. Kajian pragmatik tersebut digunakan untuk memahami makna dan fungsi deiksis pronomina persona.

Deiksis
1. Pengertian Deiksis
Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘menunjuk’ atau ‘menunjukkan’. Dalam KBBI (1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya.
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43). Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan (1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.

Pengertian fonologi

Pengertia fonologi adalah bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah fonologi ini berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti tatanan, kata, atau ilmu disebut juga tata bunyi. Fonologi terbadi dari dua bagian, yaitu Fonetik dan Fonemik.
Fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia.
Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.

istilah lain yang berkaitan dengan Fonologi antara lain fona, fonem, konsonan, dan vokal.
pengertian fonologi
fona adalah bunyi ujaran yang bersifat netral, atau masih belum terbukti membedakan arti, sedang fonem ialah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti. Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf.
Unluk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu :

  1. udara,
  2. artikulator atau bagian alat ucap yang bergerak, dan
  3. titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.
Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa rintangan.  Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan, dalam hal ini yang dimaksud dengan rintangan dalam hal ini adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator .
Semoga artikel yang singkat tentang pengertian fonologi di atas bisa bermanfaat bagi kamu yang membutuhkan. 
Jika ingin juga tahu tentang pengertian kalimat, silahkan baca di sini
referensi :http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/Sponsor-Pendamping/Praweda/Indonesia/0458%20Ind%202a.htm

jenis wacana

Setelah membaca wacana, pembaca harus dapat menentukan jenis wacana apa yang dibacanya. Ada beberapa jenis wacana diantaranya :
1. Deskripsi adalah penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat, suasana, atau keadaan. Deskripsi merupakan hasil observasi melalui panca indra yang disampaikan secara kronologis. Contoh : Rumah itu dari kejauhan kelihatan angker sekali, menyeramkan. Apalagi jika melihat dari dalam sungguh mengerikan
2. Eksposisi adalah menjelaskan baik peristiwa atau lainnya dan harus berurutan, biasanya tulisan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topic dengan tujuan memberikan informasi atau pengetahuan tambahan.
Contoh : mencangkok bukanlah pekerjaan yang sukar. Satu menit saja kita belajar, kita sudah dapat berpraktik dan hasilnya kita tunggu satu, dua bulan caranya sebagai berikut ….
3. Argumentasi adalah mengeluarkan pendapat, pendapat ini harus kita perhatikan dengan bukti dan fakta, biasanya tulisan ini bertujuan membuktikan kebenaran suatu pendapat atau kesimpulan dengan data, dakta sebagai bukti.
Contoh : KB membuat keluarga sejahtera daman dan bahagia dengan dua anak.
4. Persuasi adalah wacana yang mampu mengajak, mempengaruhi dan membujuk atau tulisan ini bertujuan mempengaruhi emosi pembaca untuk berbuat sesuatu.
Contoh : kalimat iklan
5. Narasi adalah mengarang atau menceritakan sesuatu baik nyata maupun tidak nyata, biasanya tulisan ini berisi rangkaian peristiwa yang susul menyusul sehingga membentuk alur cerita.
Contoh : cerpen

definisi wacana

Definisi 'wacana'

Indonesian to Indonesian
noun
1. 1 komunikasi verbal; percakapan; 2 Ling keseluruhan tutur yg merupakan suatu kesatuan; 3 Ling satuan bahasa terlengkap yg direalisasikan dl bentuk karangan atau laporan utuh, spt novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah; 4 Ling kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat; 5 pertukaran ide secara verbal;
-- langsung Ling kutipan wacana yg sebenarnya dibatasi oleh intonasi atau pungtuasi; -- pembeberan Ling wacana yg tidak mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pd pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara logis; -- penuturan Ling wacana yg mementingkan urutan waktu dituturkan oleh orang pertama atau ketiga dl waktu tertentu, berorientasi pd pelaku, dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis
source: kbbi3

Etika Jurnalistik Media Online

Etika Jurnalistik Media Online

Jumat, 02 Maret 2012 21:25 Munarsih Dilihat: 223 Kali
Cetak PDF
Media_On_Line
Sumber foto : trawang.com
RRI-Jogja News, 
Persaingan media online di era digital sekarang ini banyak memunculan pelangaran etika. Hal ini mengemuka dalam seminar tentant Cyber Media-Antara Kebebesan Pers dan Etika, diselenggarakan oleh PWI dalam rangka Hari Pers 2012.

Pembicara Uni Lubis, wartawan senior yang juga Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi Dewan Pers mengatakan, Era digital memunculkan pertanyaan mengenai etika Jurnalistik. Ia mempertanyakan apakah etika yang dianut media selama ini masih relevan. Nilai dasar etika jurnalistik dibangun abad lalu, dan didesain bagi sebuah penerbitan koran yang dijual komersil ke publik.

Sementara sekarang banyak orang menyajikan berita secara gratis melalui portal, blog maupun media sosial lainnya. Menurut UNI, di era gabungan antara media profesional dengan media warga terjadi benturan antara jurnalisme tradisional dengan jurnalisme online. Tetapi intinya, medium yang berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi, tidak mengubah esensi dari jurnalisme yang harus memenuhi elemen dasarnya: verifikasi, akurasi, keberimbangan, kebenaran, kepentingan publik, dan relevan.

Sementara itu, Agus Sudibyo - Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers mengatakan, pelanggaran media online selama tahun 2011 lalu didominasi oleh kasus-kasus berita yang tidak berimbang, mencapai 30 kasus. Dikatakan, 23 Februari lalu Dewan Pers telah menerbitkan pedoman etika jurnalistik untuk media online yang mulai berlaku sejak hari/tanggal tersebut.

pengertian jurnalistik

Prof. F. Wojowasito: bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah
Rosihan Anwar : bahasa jurnalistik adalah satu ragam bahasa yang digunakan wartawan yang memiliki sifat-sifat khas singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik
M. Wonohito (bahasa surat kabar): bahasa jurnalistik adalah suatu jenis bahasa tertulis yang memiliki sifat-sifatnya dengan bahasa sastra, bahasa ilmu atau bahasa buku pada umumnya.
Kurniawan Junaedhie (Ensiklopedi Pers Indonesia): bahasa jurnalistik adalah Bahasa yang digunakan oleh penerbitan pers. Bahasa yang mengandung makna informatif, persuasif, dan yang secara konsensus merupakan kata-kata yang bisa dimengerti secara umum, harus singkat tapi jelas dan tidak bertele-tele.
Moh. Ngafeman (kamus jurnalistik AZ): bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa dengan pilihan kosakata yang sederhana agar dapat dipahami oleh segenap lapisan masyarakat.
Adinegoro: bahasa jurnalistik adalah tiap berita atau cerita harus padat karena itu disajikan secara mudah difahamkan, terang dan tidak sulit membaca sehingga orang yang membaca tidak usah berfikir panjang untuk mengetahui apa yang diberitakan itu. Oleh karena kita dapati dalam kalimat-kalimat ringkas, kata-kata tepat dan ungkapan-ungkapan yang hidup.

ciri ciri puisi

Ciri-ciri Puisi Lama:
1. Anonim (pengarangnya tidak diketahui)
2. Terikat jumlah baris, rima, dan irama
3. Merupakan kesusastraan lisan
4. Gaya bahasanya statis (tetap) dan klise
5. Isinya fantastis dan istanasentris

Ciri-ciri Puisi Baru:
1. Pengarangnya diketahui
2. Tidak terikat jumlah baris, rima, dan irama
3. Berkembang secara lisan dan tertulis
4. Gaya bahasanya dinamis (berubah-ubah)
5. Isinya tentang kehidupan pada umumnya

jenis majas

Majas adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Dalam penggunaannya, majas diciptakan untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembicaranya.

Secara garis besar, majas dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu majas perbandingan, pertentangan, dan pertautan.

# Majas perbandingan
majas perbandingan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Perumpamaan
contoh:
pendiriannya selalu berubah-ubah seperti air di daun talas

b. Metafora (perbandingan langsung)
contoh:
sampah masyarakat itu akhirnya berhasil ditangkap polisi

c. Personofikasi
contoh:
bulan tersenyum kepada bintang


# Majas Pertentangan
Majas pertentangan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Hiperbola
contoh:
teriakannya menggelegar membelah gunung

b. Litotes
contoh:
terimalah pemberian kami yang tak seberapa ini

c. Ironi
contoh:
halus sekali tutur katamu sampai semua orang tersinggung


# Majas Pertautan
Majas pertautan dibagi menjadi 4:
a. Metonimia
contoh:
ayah mencuci dengan rinso

b. Sinekdoke
contoh:
Indonesia berhasil menyabet medali emas cabang sepak bola pada Sea Games lalu

c. Alusio
contoh:
ceritakan semuanya dengan jujur, kamu jangan kura-kura dalam perahu

d. Eufemisme
contoh:
bodoh ---> kurang pandai
ditangkap ---> diamankan
(indahf/Carapedia)

analisis PTK


Analisis Hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK),
Tindak Lanjut Dan Penulisan Laporan
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada proses analisis hasil PTK
    1. Data penelitian tindakan kelas pada dasarnya dikumpulkan oleh guru yang berperan sebagai peneliti dan pengajar, dan jika perlu dapat dibantu oleh teman sejawat. Data tersebut lebih banyak bersifat kualitatif, meski ada juga yang berupa data kuantitatif.
    2. Analisis data adalah upaya yang dilakukan oleh guru yang berperan sebagai peneliti untuk merangkum secara akurat data yang telah dikumpulkan dalam bentuk yang dapat dipercaya dan benar.
    3. Sehubungan dengan butir 2, maka analisis data dilakukan dengan cara memilih, memilah, mengelompokkan, data yang ada, merangkumnya, kemudian menyajikan dalam bentuk yang mudah dibaca atau dipahami. Penyajian hasil analisis data kualitatif dapat dibuat dalam bentuk uraian singkat, bagan alur, atau tabel sesuai dengan hakikat data yang dianalisis.
    4. Data kuantitatif dianalisis dengan statistik deskriptif untuk menemukan persentase, dan nilai rata-rata. Penyajian hasil analisis dapat dilakukan dengan membuat tabel distribusi atau grafik.
    5. Interpretasi data adalah upaya peneliti untuk menemukan makna dari data yang dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Interpretasi ini pada gilirannya akan menjadi temuan penelitian.
    6. Analisis yang akurat dan cara penyajian yang tepat akan memungkinkan tafsiran/interpretasi hasil penelitian yang akurat dan valid itu. Oleh karena itu, guru harus sangat berhati-hati dalam melakukan analisis. Kekurang-akuratan dapat diminimalkan dengan melakukan “cross check” dengan sumber data atau dengan data lain yang sejenis.
    7. Agar mampu melakukan analisis data, guru harus banyak melakukan latihan dan bekerja dalam kelompok.
    1. Menyimpulkan adalah mengikhtisarkan atau memberi pendapat berdasarkan apa-apa yang diuraikan sebelumnya. Sejalan dengan itu, kesimpulan atau simpulan adalah kesudahan pendapat atau pendapat terakhir yang dibuat berdasarkan uraian sebelumnya.
    2. Dalam kaitan dengan PTK, kesimpulan harus disusun secara singkat, padat, dan jelas; sesuai dengan uraian, dan mengacu kepada pertanyaan penelitian/tujuan perbaikan. Di samping itu, kesimpulan harus disusun secara sistematis sesuai dengan urutan pertanyaan penelitian/tujuan perbaikan.
    3. Penyusunan kesimpulan seyogianya dilakukan melalui langkah-langkah: (1) memeriksa dan memahami pertanyaan penelitian/tujuan perbaikan, (2) mencermati, menganalisis, dan mensintesis deskripsi temuan, (3) menulis kesimpulan untuk setiap pertanyaan penelitian/tujuan perbaikan, (4) mengurutkan setiap butir kesimpulan sesuai dengan urutan pertanyaan penelitian/tujuan perbaikan, serta (5) memeriksa kesesuaian antara pertanyaan penelitian/tujuan perbaikan dengan deskripsi temuan, dan kesimpulan.
    4. Saran dimaknai sebagai: pendapat (usul, anjuran, cita-cita) yang dikemukakan untuk dipertimbangkan. Dalam kaitan dengan PTK, saran merupakan pemikiran yang diajukan oleh guru peneliti untuk menindaklanjuti hasil penelitiannya.
    5. Saran tindak lanjut hasil PTK harus memenuhi rambu-rambu: (1) bersumber atau sesuai dengan kesimpulan, (2) bersifat kongkret, operasional, dan penting, sehingga menarik untuk dilaksanakan oleh guru, (3) jelas sasarannya, apakah ditujukan kepada guru atau sekolah, atau barangkali instansi lain, serta (4) dapat meliputi hal-hal yang berkaitan dengan metodologi penelitian.
    6. Pembuatan saran dapat dilakukan melalui langkah-langkah: (1) mencermati kesimpulan hasil PTK, (2) mengkaji aspek-aspek dari kesimpulan tersebut yang perlu ditindaklanjuti, baik oleh guru peneliti, guru lain, maupun sekolah, (3) menetapkan kepada siapa saran tersebut akan ditujukan, serta (4) menulis saran.

sastra lama

Tulisan, artikel dan tutorial ini boleh di copy tanpa tujuan komersial dengan tetap menyertakan nama
pengarang, tulisan ini dibuat untuk penunjang pendidikan di Indonesia.Penyebaran artikel
untuk tujuan komersial harap menghubungi penulis
Bentuk sastra lama bermacam-macam. Secara umum karya sastra lama tediri atas prosa dan
puisi.
Istilah prosa diambil dari bahasa Latin yaitu oratio provorsa artinya ucapan langsung. Dalam
kesusastraan, prosa merupakan sejenis karya sastra yang bersifat paparan. Prosa sering pula
disebut karangan bebas karena tidak diikat oleh aturan-aturan khusus (misalnya rima, ritme
seperti halnya dalam puisi).
Menurut zamannya (masanya) prosa dibedakan menjadi dua periode yaitu prosa lama
dan prosa baru. Prosa lama sebagai gambaran kehidupan masyarakat pada zaman dahulu,
yaitu kehidupan masyarakat sebelum memiliki rasa kesadaran nasional. Jika dibatasi dengan
tahun, prosa lama ini berkembang sebelum tahun 1900. Prosa lama dibedakan beberapa jenis
di antaranya dongeng, cerita rakyat (fokslore), cerita pelipur lara, hikayat, tambo, epos
(wiracarita), cerita berbingkai, dan kitab-kitab.
Sastralamayangberbentuk prosa,umumnyamempunyaiciri-ciri:
1.
Ceritanya seputar kehidupari istana. Karena itu bersifat istana sentris.
2.
Menggambarkan tradisi masyarakat yang lebih menonjolkan kekolektifan daripada
keindividualan. Sebagai akibat logisnya, sastra lama dianggap milik bersama (kolektif).
3.
Konsekuensi dari ciri kedua, sastra lama bersifat anonim, pengarangnya tidak dikenal.
4.
Sastra lama bersifat lisan, disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan, dari mulut
ke mulut (leluri).
1.
Mengidentifikasi Ciri Hikayat sebagai Bentuk Karya Sastra La ma
Hikayat artinya cerita atau riwayat, Secara lengkap, pengertian1 hikayat adalah sejenis prosa sastra
melayu lama yang ceritanya berkisar pada sikap kepahlawanan tokoh-tokoh istana. Sebagai karya
sastra lama, hikayat memiliki ciri-ciri:
a. Ceritanya berkisar pada sikap kepahlawanan tokoh-tokoh istana (istana sentris).
b. Kisahnya bercampur dengan dunia khayal yang dalam banyak hal dilebih-lebihkan.
c. Pada umumnya dihubungkan dengan peristiwa sejarah tertentu.
karya sastra lama berbentuk hikayat misalnya Hikayat Si Miskin, Hikayat Hang Tuah,
Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Sang Boma, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman,
dan lain-lain.
Sumber: Peristiwa Sastra Melayu Lama, Drs. H. Soetarno, 2003

Sejarah Kesultanan Buton

Sejarah Kesultanan Buton

Sebagai sebuah negeri, keberadaan Buton tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yag dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.
Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbbaagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati; Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa.Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu palolang pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton, mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan Buton.Sementara Simalui dan para pengikutnya diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga. Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa (Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat seorang Raja.
Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M.
Berkaitan dengana asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butu, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai penanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Diperkirakan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk, ada usaha untuk mengkaitkan nama Buton ini dengan bahasa Arab. Dikatakan, nama Buton berasal dari kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan. 
Kerajaan Buton dan Islam
Dengan naiknya Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16 M. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit. 
Silsilah
Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam.
 Raja-raja:
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum

Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
 Periode Pemerintahan
Era pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam berlangsung dari tahun 1542 hingga 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M.
 Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi.
 Struktur Pemerintahan
Kekuasasan tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh sultan. Struktur kekuasaan di kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan: kaomu dan walaka. Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun, sultan harus berasal dari golongan kaomu. Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton adalah bontona (menteri), menteri besar, bonto, kepala Siolimbona dan sekretaris sultan.
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri darimana Islam di Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat berarti unutk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio. Selain itu, juga terdapat naskah yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC Belanda.
Kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai mati).
Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti. Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
 Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin menaklukkannya. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis. Lapis pertama ditangani oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Lapis kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Untuk memperkuat sistem pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter, melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan 16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai.
Demikianlah deskripsi ringkas mengenai Kerajaan Buton. Saat ini, di bekas wilayah kerajaan ini, telah berdiri beberapa kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau–Bau. Kota Bau-bau ini merupakan pusat Kerajaan Buton pada masa dulu. Hingga saat ini, masih tersisa peninggalan kerajaan, di antaranya bangunan istana. Sumber: melayuonline